SINOPSIS ANTHOLOGY Part 3
Sebelumnya Sinopsis Anthology Part 2
So
Yi dan Jin Hyun berangkat ke sekolah bersama-sama.
“Kyungsoo
itu tingginya berapa, ya?” tanya So Yi.
“Dia
mungkin 170cm atau mungkin lebih pendek sedikit,” jawab Jin Hyun.
“Impiannya
adalah menjadi atlet basket. Dia minum pil kalsium yang dibelikan bibinya di
luar negeri. Setiap hari dia minum 1 liter susu. Makanannya lauk teri goreng. Dan
juga, ia harus tidur tepat jam 9.”
“Dia
itu... Harus berhenti nonton video dulu," kata Jin Hyun.
“Aih...
Tapi apa sesungguhnya yang mereka percaya, sehingga bisa sepolos ini?” tanya So
Yi.
Jin
Hyun hanya diam saja.
“Kau
masih belum menulisnya, kan?” tanya So Yi lagi.
“Ya.”
“Apa
akan kau menulisnya? Kalau aku, aku tak mau menulisnya. Jika anak-anak polos itu
tahu kalau impianku adalah mati, mereka bisa-bisa shock berat.”
So
Yi kemudian mengomentari cara bersepeda Jin Hyun yang menurutnya aneh, “Apa kau
tahu? Kau itu sekarang aneh sekali?”
“Biasanya
berjalan lurus itu yang paling gampang. Berjalan pelan dan berkelok-kelok
begini adalah yang paling susah,” kata Jin Hyun.
Jin
Hyun bertanya pada So Yi apa ia mau mencoba naik sepeda juga. So Yi tidak mau,
karena ia tidak bisa naik sepeda. Jin Hyun berkomentar, “Mana ada orang yang
tak bisa naik sepeda?”
“Secara
umum, orang yang tidak bisa naik sepeda bisa digolongkan jadi 3. Yang pertama, yang
tidak punya ayah. Kedua, yang ayahnya sibuk. Lalu ketiga... Yang ayahnya
selingkuh. Aku cukup menyedihkan, kan?
“Impianku
juga sulit untuk ditulis,” timpal Jin Hyun.
Suatu ketika, saat So
Yi ada di gereja, ia melihat Jin Hyun ada di sana juga sebagai pengiring
pendeta. Saat itu So Yi menyadari mungkin cita-cita Jin Hyun adalah menjadi seorang pendeta.
Esok harinya di dalam kelas, Jin Hyun berterima kasih pada teman-temannya karena telah mau bekerjasama
dengannya dalam penyusunan antologi. Jin Hyun mengatakan kalau sekarang,
teman-temannya hanya tinggal menulis rolling
paper saja.
“Kalian
sudah bekerja keras,” kata Jin Hyun menutup pembicaraannya di kelas.
So
Yi kebingungan saat ia harus menuliskan sesuatu untuk Jin Hyun pada rolling paper. Jin Hyun juga merasa bingung harus
menuliskan apa untuk shin So Yi.
So
Yi dan Jin Hyun sekarang sibuk menyusun berbagai kumpulan karya-karya
teman-temannya, termasuk rolling paper yang telah mereka tulis untuk bahan antologi.
“Haruskah
kita tempelkan daun mapel-nya dengan foto-foto lama? Posisinya bagaimana? Kutempel
atas-bawah saja, ya?” tanya Jin Hyun.
So
Yi hanya mengangguk-angguk saja karena terlalu sibuk menyusun bahan antologi.
“Kau
ngapain?” tanya Jin Hyun lagi. So Yi tak menjawabnya.
Jin
Hyun lalu melihat tulisan yang ditulis So Yi untuknya pada roliing paper, "Semoga impianmu tak menjadi kenyataan.” So
Yi juga melihat pesan dari Jin Hyun untuknya pada rolling paper. Ia lalu protes dengan apa yang dituliskan Jin Hyun
untuknya. “Hei, Song Jin Hyun! Titik? Hanya satu titik? Apa kau benar-benar tak
punya bahkan sepatah katapun untuk
dikatakan padaku?” tanya So Yi, kesal. So Yi kemudian merebut rolling paper Jin Hyun agar ia pun bisa
merubah tulisannya pada rolling paper Jin
Hyun.
“Hei,
berikan padaku! Berikan!” seru So Yi.
“Kalau
sudah ditulis nggak bisa diubah lagi,” kata Jin Hyun.
“Omong
kosong. Kalau begitu akan kuberikan dua titik untukmu.”
“Sudah
saja, ya.”
“Ah,
cepat berikan padaku! Sudah apanya?”
“Sudahan
saja.”
“Ah,
aku tak mau lagi,” kata So Yi, ngambek.
Saat
malam hari di rumah So Yi...
“Paman.
Haruskah aku beli seragam?” tanya So Yi.
Paman
yang sedang menggosok giginya langsung tersedak begitu mendengar pertanyaan So
Yi. “Terserah saja,” kata Paman.
So
Yi mengomentari tingkah pamannya yang mengosok gigi sembarangan, “Ih, jorok.”
Paman lalu mengalihkan pembicaraan, “Aku
akan sibuk karena pelatihan. Mulai sekarang, kau yang siapkan sarapan
anak-anakku, ya!”
“Terserah
saja,” jawab So Yi.
“Apa
ini? Apa kau cermin?" tanya paman. "Kau memang keponakanku. Selarut ini kau masih bisa makan?” ledek paman saat melihat So Yi makan ubi dengan lahapnya.
Pagi
hari di sekolah...
Pak
Guru menghukum semua siswa yang melanggar peraturan sekolah, termasuk siswa
yang berpakaian tidak sesuai dengan aturan di sekolah. So Yi yang masih memakai
seragam lama juga terkena omelan Pak Guru.
“Kau.
Ya, kau. Kemarilah!” kata Pak Guru.
“Aku?”
tanya So Yi.
“Ya.
Kemarilah! Kau sudah sejak kapan pindah kesini? Kenapa masih pakai ini?”
“Ah,
aku disini hanya sebentar. Aku sudah dapat izin wali kelas juga,” jawab So Yi.
“Tata
tertib siswa itu tugasku. Kau tak ada uang untuk beli seragam?”
Jin
Hyun yang melihat So Yi kena teguran Pak Guru langsung datang dan membela So
Yi, “Pak, dia anak di kelasku... Situasinya agak...”
“Hei!
Kalau kita membiarkan situasi semua orang, untuk apa ada tata tertib sekolah? Angkat
tanganmu di sana!” perintah Pak Guru pada So Yi. So Yi hanya diam saja.
“Kau
ngapain? Beraninya kau melotot pada gurumu? Ibumu Yeo Minsook, kan? Aku teman
satu SMP-nya. Sejak awal dia berniat membuangmu kesini, lalu menikah di Amerika.
Kalau kau sudah sebesar ini, harusnya kau rawat dirimu sendiri. Kenapa kau
ingin mengikutinya ke Amerika?”
“Aku
tak mau sekolah lagi!” kata So Yi.
“Apa?”
“Sekolah
sampah seperti ini terlalu kotor buatku!” seru So Yi sambil berlalu pergi.
“Apa?
Sa- sampah? Anak tak punya sopan santun itu! Kau mau kemana? Tak mau berhenti? Dia
belajar dari siapa bisa tak sopan begitu?”
Jin
Hyun segera mengejar So Yi. “Shin So Yi! So Yi!” panggil Jin Hyun sambil
menahan tangan So Yi.
“Lepas!
Jangan mengikutiku sebelum aku membunuhmu!”
“Ayo
pergi. Kau tak bersalah, kenapa kau yang lari?”
“Jangan
sok tahu!” kata So Yi.
“Shin
So Yi!”
“Jangan
sok tahu! Enyahlah kau! Kata-katanya benar. Ibuku membuangku ke sini. Aku selalu
bilang akan ke Amerika dan juga aku
bilang tak mau sekolah lagi. Tapi itu semua bohong. Aku orang yang seperti itu.”
“Kau
orang seperti apa memangnya? Jangan menghina dirimu sendiri! Dan juga, jangan
kau benci ibumu!”
“Kau
ingin bertingkah sok baik sampai akhir, ya?” tanya So Yi.
“So
Yi!”
“Kalau
ada seseorang yang tak kuinginkan untuk menghiburku... Itu kau, orangnya. Jadi
jangan mengikutiku. Sebelum aku benar-benar membunuhmu,” kata So Yi.
Sepulang
sekolah, So Yi mengurung dirinya sendiri di kamarnya. Paman terus membujuknya
dan mengatakan kalau ia sudah membelikan sesuatu untuk So Yi.
“So
Yi. Shin So Yi. Aku membelikan sesuatu untukmu. Ini. Ukurannya aku kira-kira,”
kata paman. Paman lalu membuka pintu kamar So Yi untuk memberikan bingkisan
untuknya. So Yi memeriksanya dan segera melemparnya setelah tahu isinya seragam
sekolah.
“Kau
bilang ke ibu kalau aku ingin tinggal disini?” tanya So Yi.
“Aku
meneleponnya.”
“Lalu?
Apa dia dia senang?”
Nenek
datang dan mengatakan, “Bukan seperti itu. Itu juga akan menyakitkan sekali
baginya.”
“Katakan
padanya, jangan omong kosong! Dia membuangku karena aku menjadi penghalang
hidupnya, kan?”
“Aku
yang bilang... Akan merawatmu,” kata Paman.
“Apa?
Kenapa? Memang kau siapa?” tanya So Yi, marah.
“Kaki
ibumu... Pembuluh darah di betisnya pecah. Dia menyembunyikannya dan tetap
bekerja selama satu dekade. Mana ada waktu untuk duduk bagi sales person mall,
sepertinya? Aku... Hanya berharap ibumu menikmati hidupnya dengan nyaman,” kata
Paman.
“Lalu
aku? Bagaimana dengan hidupku?”
“Aku
tahu, nak. Aku mengerti perasaanmu. Ibu mana yang tak mengerti anaknya? Tunggulah
sebentar lagi. Semuanya akan baik-baik saja. Apa kau tahu betapa kasihannya
ibumu?” kata Nenek.
“Baik...
Anak lebih penting dari cucu, kan?” So Yi marah dan segera menutup pintu
kamarnya. So Yi menangis sendirian di kamarnya. Di luar kamarnya nenek juga
menangis, ia mencoba mengatakan pada So Yi kalau ibunya sangat menyayangi So
Yi.
“Bukan
begitu. Kau tak tahu betapa ibumu menyayangimu.”
Saat malam hari, So Yi diam-diam keluar dari kamarnya sambil membawa tasnya.
Nenek
yang baru tahu So Yi kabur dari rumah saat hari sudah pagi segera memanggil
pamannya. “Mincheol! Mincheol! Mincheol, bangunlah cepat! Mincheol! So Yi menghilang.
So Yi tak ada!” teriak nenek, panik.
“Apa
maksudnya itu?” tanya paman, setengah sadar.
Cepat-cepat!
Lapor polisi! Cepat lapor!
“Ngapain
lapor polisi?”
“Cepat!
Cepat! So Yi menghilang!”
Paman
lalu bangun dan keluar dari kamarnya. Ia melihat whitie tidak ada di
kandangnya. Paman jadi panik karenanya.
“Ibu...
Ibu... Ibu, polisi! Lapor polisi, cepat! Anakku menghilang!” kata Paman. Nenek
memarahi paman yang lebih mengkhawatirkan kambingnya daripada So Yi.
Paman
akhirnya berkeliling desa untuk mencari So Yi. Jin Hyun juga turut ikut mencari
So Yi seorang diri.
So
Yi berjalan sambil menuntun Whitie.
“Maafkan
aku, Whitie... Aku sangat marah... Jadi kurasa aku harus ke Amerika. Kau juga
terlahirlah kembali sebagai manusia. Eh, Jangan. Jangan terlahir kembali. Tak
ada bagusnya juga,” kata So Yi.
Hujan
tiba-tiba turun. So Yi lalu mengambil jas hujan di tasnya dan memakaikannya
pada Whitie.
“Hei,
Shin Soyi! Apa-apaan itu? Kau memakaikan dia yang seharusnya kau pakai? Ayo
pulang dulu! Para orangtua khawatir,” kata Jin Hyun pada So Yi begitu ia
berhasil menemukan So Yi.
“Kau
saja yang pulang. Aku takkan pulang.”
“Lalu?
Kau akan kabur dengan kondisi begini?” tanya Jin Hyun.
“Ya.
Aku akan ke Amerika. Aku akan menanyainya. Aku akan membuat kekacauan. Aku
takkan diam saja.”
“Lalu?
Kau pikir hatimu akan tenang jika begitu? Kau seperti ini sekarang... Hanya
akan memastikan kalau kau akan dibuang.”
“Jangan
asal bicara! Kau tak tahu apa-apa.”
“Kau
benar-benar berpikir aku sungguh tak tahu apa-apa?” tanya Jin Hyun lagi.
“Ya.
Kau tak mengerti aku. Lalu kenapa kalau kedua orang tuamu bukan orangtua
kandungmu? Memang kenapa kalau kau membakar
ladang karena sedih mengenai hal itu? "Kau dan aku sama, jadi bukan hanya kau
yang tak beruntung." Kau ingin mengatakannya, kan? Jangan bercanda. Hanya karena kau
tak beruntung sedikit, jangan berpikir kau tahu rasa sakitku. Itu sombong, kau
tahu?”
“Baiklah. Kau benar. Itu benar. Aku minta
maaf. Kali pertama aku melihatmu, aku berpikir kalau kau sama denganku. Selama
ini aku selalu berpikir aku orang paling tak beruntung di dunia. Aku selalu
berusaha untuk menyembunyikannya. Sesuatu yang harusnya tak terlahir... Aku
berpikir itu aku. Saat aku berumur 7 tahun, aku pernah mencari ibuku dengan
hanya sebuah alamat. Pamanku memasukkanku ke kartu keluarganya. Ibuku telah
memiliki keluarga baru. Waktu itu, ibuku mengatakan ini padaku.... "Anggap
sajalah ibu sudah tak ada." Di dalam hatiku, aku telah membunuh ibuku,
hari itu. Dan aku juga telah memutuskan... Untuk tidak menaruh hati pada
siapapun. Cinta manusia pada manusia lain... Aku tak percaya hal itu. Karenanya...
Aku memutuskan untuk jadi pendeta.”
So
Yi menangis begitu mendengar cerita Jin Hyun, “Maafkan aku, Jin Hyun... Aku
minta maaf.”
Jin
Hyun lalu memeluk So Yi yang sedang menangis.
“Impianku
saat aku kecil... Apa kau tahu?” tanya So Yi.
“Tidak.”
“Pelangi.”
“Pelangi...
Cantik sekali,” komentar Jin Hyun.
“Saat
itu... Aku pikir aku benar-benar bisa jadi pelangi.”
“Kau
pasti bisa,” kata Jin Hyun
Tanpa
mereka sadari Whitie berjalan sendiri dan berhasil kabur dari mereka.
So
Yi akhirnya pulang kembali ke rumah. Neneknya menyambutnya dengan bahagia.
“Nak!
Kau sudah kembali,” kata nenek.
“Hei,
anak nakal! Kau dari mana saja baru kembali?” tanya paman.
“Whitie...
Whitie...” Paman langsung panik saat tak melihat Whitie pulang bersama So Yi.
“Nenek...
Maafkan aku... Aku salah,” kata So Yi, menyesal.
“Tidak
apa-apa.. Tak apa. Yang penting kau selamat,” kata nenek.
“Dimana
Whitie-ku? Mana Whitie? Apa kau menjualnya? Lalu apa kau memakannya?” tanya
paman, marah.
“Bukan.
Itu.. Dia kabur. Paman. Paman, aku minta maaf.”
“Hei!
Bagaimana bisa kau pulang sendiri? Whitie! Kemana kau pergi? Whitie!!!” Paman
langsung menangis sejadi-jadinya sambil berlari untuk mencari Whitie.
Malam
harinya So Yi mendapat telepon dari Jin Hyun
“Hallo!”
“Ini
aku...” kata Jin Hyun.
“Ya.
Aku tahu. Kenapa menelepon?” tanya So Yi.
“Yah...
hanya saja.”
“Aneh...”
“Apanya?”
tanya Jin Hyun.
“Hanya
saja... Aku senang.”
Mereka
berdua diam-diam menahan senyumannya masing-masing. (ciee)
“Itu
aneh sekali... Aku juga...” kata Jin Hyun.
Di
luar kamar So Yi, paman akhirnya berhasil menemukan Whitie. “Ya ampun.. Tak apa
Whitie... Kau tahu betapa khawatirnya ayahmu ini saat mengira kau hilang? Jangan
khawatir lagi. Tidurlah yang nyenyak... Shin Soyi, anak nakal itu. Lihat saja
setelah pelatihanku selesai. Akan kuhabisi, kau.”
So
Yi tersenyum mendengar ocehan pamannya itu. Ia lalu bertanya pada Jin Hyun apa
ia mendengar ocehan pamannya barusan.
“Ya.
Terdengar seolah dia ada disampingmu,” jawab Jin Hyun.
Paman
tiba-tiba berteriak dari luar pada So Yi, “Hei! Kau pikir aku tak tahu kalau kau mendengar semuanya dari dalam, kan? Anak
itu sengaja.”
”Kalau
begitu... Karena sudah larut... Selamat malam,” kata Jin Hyun.
“Kau
juga.”
Esoknya
So Yi masuk ke sekolah dengan memakai seragam baru. Teman-teman sekelasnya
menyorakinya, “Wooo... Shin So Yi...”
“Diamlah...!!”
kata So Yi.
“Sekarang,
ternyata ada dua cewek gila di tanah Nonsan,” kata salah seorang temannya.
Sung
Ji langsung menimpali, “Kau cari mati? Dia dan aku sangat berbeda. Bisa kaget
Jin Hyun kalau dia melihat ini.”
“Ada
apa ini? Jinhyun 'kan tak pernah bolos?” komentar salah satu teman Sung Ji saat
menyadari Jin Hyun belum datang ke sekolah.
“Jangankan
bolos... Telat saja dia tak pernah,” kata Sung Ji.
“Hei,
apa kalian sudah dengar?” tanya seorang siswa yang baru saja datang ke kelas.
“Apa?”
“Keluarga
Jinhyun kabur di tengah malam. Kudengar orang tuanya menerima banyak uang dari
orang-orang untuk diinvestasikan. Mereka melarikan uangnya dan kabur.”
So
Yi terkejut mendengarnya.
Sepulang sekolah So Yi bergegas ke rumah Jin Hyun, namun ia tak menemukan Jin Hyun,
yang ada hanya kerumunan orang-orang yang hendak menagih uang mereka ke rumah
Jin Hyun. Ia melihat sepeda kesayangan Jin Hyun tergeletak begitu saja di halam
rumah Jin Hyun. Orang-orang yang ada di depan rumah Jin Hyun terus menggerutu membicarakan keluarga Jin Hyun.
“Mereka
benar-benar kabur?”
“Makanya
itu... Sudah kubilang kita tak boleh percaya sembarang orang. Uangku hilang
semua. Ya ampun...”
So
Yi pulang ke rumahnya dan mendapati ibunya sudah ada di rumah.
“Aigoo,
putriku sudah pulang! So Yi! Ini Ibu. Aku harus lihat wajah So Yi dari dekat. Lihat
seragammu... Kau sudah benar-benar jadi gadis Nonsan. Lihat wajahmu. Pipimu
sepertinya akan meledak! Masakan Nenek lebih enak dari masakan Ibu, ya?” tanya
Ibunya.
So
Yi hanya diam saja dan mulai menangis melihat ibunya ada di hadapannya sekarang.
“Ya
ampun, anak ini. Kau bahkan tak menjawabku. Kau masih marah?”
So
Yi akhirnya tak bisa menahan lagi tangisnya. Ia mulai menangis dengan keras.
“Astaga.
So Yi... Ibu, dia anak siapa?” tanya Ibu pada Nenek, “astaga, aku malu.”
“Dia
sama persis seperti dirimu 10 tahun lalu,” kata Nenek pada Ibu.
Ibu
mencoba menenangkan So Yi yang sedang menangis dengan memeluknya, “So Yi, orang-orang
desa bisa salah paham melihatmu menangis begini. Setelah melihat ibu, kau
langsung menangis terduduk. So Yi, peluk ibu!"
Di
malam hari, So Yi tidur di samping ibunya.
“Ibu...”
“Apa?”
“Apa
ibu benar-benar berniat membuangku?” tanya So Yi.
“Ibu...
Masih bisa hidup meski tanpa Kimchi... Tapi tidak jika tanpamu...”
“Kalau
tak ada Kimchi, Ibu kan tak bisa makan.”
“Ibu
minta maaf. Ibu salah.”
“Lupakan
saja!”
“Haruskah
aku memeluk anak kesayanganku?” tanya Ibu.
So
Yi dewasa bernarasi, “Saat itulah aku tahu. Anak itu telah menghilang dari
duniaku selamanya... Dan aku tak bisa melihatnya lagi. Di hari itu... Aku pergi
ke Amerika. Dan sekarang... Lembaran ke-17 umurku... Terbuka di depan mataku.”
So
Yi dewasa sekarang sedang berada di bis sambil membuka kembali antologi yang
pernah dibuatnya bersama Jin Hyun. So Yi membaca harapannya untuk Jin Hyun
dalam rolling paper Jin Hyun, "Semoga impianmu tak terwujud..." So
Yi kemudian membaca tulisan-tulisan dari
teman-temannya dalam rolling paper untuknya.
“Setelah kau datang, temperamen Sung Ji tak
seburuk dulu. Kalian memang cewek gila kembar yang sesungguhnya.”
“Berbahagialah di Amerika...”
“Kesamaan Shin So Yi dengan selebriti : Mereka
cantik.”
Sung
Ji juga menuliskan sesuatu untuk So Yi dalam rolling paper So Yi, ““Masa depan suram. Tidak...
Masa depanmu cerah. Akan kurelakan anak suci itu kepadamu. Sampai bertemu lagi.”
So
Yi berkata dalam hatinya, “Di dalam sini (antologi)... Terdapat sebuah hadiah
luar biasa yang tak pernah kubayangkan.”
So
Yi kembali mengajar murid-murid lesnya yang masih tetap tak mengahargainya
sebagai guru. Mereka masih tetap bersikap acuh tak acuh saat So Yi sedang
mengajar. Kali ini So Yi mencoba menegur dengan lembut.
“Maafkan
aku, anak-anak. Aku minta maaf pada kalian. Sejujurnya aku memandang rendah
kalian. Seperti saat aku berkata bahwa Seojoon tidak pandai-pandai meski sudah
serajin ini. Dan kubilang Seyoon selalu salah pengucapan 'kitchen' dan
'chicken'. Tapi setelah kupikir-pikir. Aku sangat bodoh dalam belajar. Youngwoon
sangat menyakiti hatiku... Tapi ternyata sebenarnya aku dulu lebih parah
darimu. Maafkan aku yang tak bisa berkaca diri. Aku lulusan universitas tak
jelas di Amerika, jadi susah dapat kerja. Karena itu aku kembali ke Korea. Ini
pekerjaanku untuk mendapat uang. Tapi meski begitu, aku juga ingin membantu kalian walau hanya sedikit. Karena
itu, tolong... Tak apa-apa meski nilai kalian hanya naik 1 poin. Tolong
perhatikanlah aku saat di kelas!” kata So Yi dengan tulus.
Murid
yang sebelumnya selalu menerima telepon saat pembelajaran So Yi sedang
berlangsung, kali ini mulai bersikap baik dengan menutup teleponnya setelah
mendengar kata-kata So Yi. So Yi pun berterima kasih padanya. So Yi kembali
melanjutkan kata-katanya, “Sejujurnya impianku adalah lulus dari Harvard.”
Murid-muridnya
langsung menertawakannya, “Harvard katanya...”
So
Yi masih melanjutkan kata-katanya, “Mimpiku bertemu pria seperti Brad Pitt dan
tinggal di Beverly Hills. Tapi kenyataannya, aku hanya guru les akademi swasta
di Mirim-dong, single, dan tinggal di apartemen sempit. Meski begitu,
anak-anak... Bermimpilah. Apa butuh uang untuk punya impian? Ayo mulai
pelajaran!”
“Itu
menakutiku. Kenapa dia tiba-tiba begini?” komentar murid-muridnya.
So
Yi bernarasi, “Hidup itu tak semudah yang kau pikirkan. Itu berlubang, berliku dan penuh rintangan. Kalau
diriku saat 17 tahun, melihat hidupku yang sekarang... Dia pasti akan sangat
tenang. Dulunya, aku pernah menganggap hidupku saat 17 tahun adalah hidupku yang
paling kelam. Tapi di musim semi itu... Anak itu menjadi pelangi hidupku. Kalau
aku bisa memutar waktu, akan kukatakan pada diriku yang sekarang. Bahwa hidupku
ini... Tidak terlalu buruk... Tidak buruk... Sama sekali.”
Flashback
Sebelum
Jin Hyun dan keluarganya pergi meninggalkan Nonsan, Jin Hyun sempat menyimpan
antologi ke perpustakaan sekolah. Saat itu, ia menulis pada rolling paper So Yi, “Kau... Pelangi dalam hidupku. Aku
bukannya... Tak menyukaimu... Aku menyukaimu.”
So
Yi dewasa kini sedang membaca tulisan Jin Hyun dalam rolling paper-nya di tepi danau sambil tersenyum dan menikmati keindahan
senja.
~ End ~
Komentar