SINOPSIS ANTHOLOGY Part 3




So Yi dan Jin Hyun berangkat ke sekolah bersama-sama.
“Kyungsoo itu tingginya berapa, ya?” tanya So Yi.
“Dia mungkin 170cm atau mungkin lebih pendek sedikit,” jawab Jin Hyun.
“Impiannya adalah menjadi atlet basket. Dia minum pil kalsium yang dibelikan bibinya di luar negeri. Setiap hari dia minum 1 liter susu. Makanannya lauk teri goreng. Dan juga,  ia harus tidur tepat jam 9.”
“Dia itu... Harus berhenti nonton video dulu," kata Jin Hyun.
“Aih... Tapi apa sesungguhnya yang mereka percaya, sehingga bisa sepolos ini?” tanya So Yi.
Jin Hyun hanya diam saja.
“Kau masih belum menulisnya, kan?” tanya So Yi lagi.
“Ya.”
“Apa akan kau menulisnya? Kalau aku, aku tak mau menulisnya. Jika anak-anak polos itu tahu kalau impianku adalah mati, mereka bisa-bisa shock berat.”
“Hei, itu membuatku shock juga, tahu.”


So Yi kemudian mengomentari cara bersepeda Jin Hyun yang menurutnya aneh, “Apa kau tahu? Kau itu sekarang aneh sekali?”
“Biasanya berjalan lurus itu yang paling gampang. Berjalan pelan dan berkelok-kelok begini adalah yang paling susah,” kata Jin Hyun.
Jin Hyun bertanya pada So Yi apa ia mau mencoba naik sepeda juga. So Yi tidak mau, karena ia tidak bisa naik sepeda. Jin Hyun berkomentar, “Mana ada orang yang tak bisa naik sepeda?”
“Secara umum, orang yang tidak bisa naik sepeda bisa digolongkan jadi 3. Yang pertama, yang tidak punya ayah. Kedua, yang ayahnya sibuk. Lalu ketiga... Yang ayahnya selingkuh. Aku cukup menyedihkan, kan?
“Impianku juga sulit untuk ditulis,” timpal Jin Hyun.


Suatu ketika, saat So Yi ada di gereja, ia melihat Jin Hyun ada di sana juga sebagai pengiring pendeta. Saat itu So Yi menyadari mungkin cita-cita Jin Hyun adalah menjadi  seorang pendeta.


Esok harinya di dalam kelas, Jin Hyun berterima kasih pada teman-temannya karena telah mau bekerjasama dengannya dalam penyusunan antologi. Jin Hyun mengatakan kalau sekarang, teman-temannya hanya tinggal menulis rolling paper saja.
“Kalian sudah bekerja keras,” kata Jin Hyun menutup pembicaraannya di kelas.


So Yi kebingungan saat ia harus menuliskan sesuatu untuk Jin Hyun pada rolling paper. Jin Hyun juga merasa bingung harus menuliskan apa untuk shin So Yi.


So Yi dan Jin Hyun sekarang sibuk menyusun berbagai kumpulan karya-karya teman-temannya, termasuk rolling paper yang telah mereka tulis untuk bahan antologi.
“Haruskah kita tempelkan daun mapel-nya dengan foto-foto lama? Posisinya bagaimana? Kutempel atas-bawah saja, ya?” tanya Jin Hyun.
So Yi hanya mengangguk-angguk saja karena terlalu sibuk menyusun bahan antologi.
“Kau ngapain?” tanya Jin Hyun lagi. So Yi tak menjawabnya.

Jin Hyun lalu melihat tulisan yang ditulis So Yi untuknya pada roliing paper, "Semoga impianmu tak menjadi kenyataan.” So Yi juga melihat pesan dari Jin Hyun untuknya pada rolling paper. Ia lalu protes dengan apa yang dituliskan Jin Hyun untuknya. “Hei, Song Jin Hyun! Titik? Hanya satu titik? Apa kau benar-benar tak punya bahkan sepatah katapun untuk dikatakan padaku?” tanya So Yi, kesal. So Yi kemudian merebut rolling paper Jin Hyun agar ia pun bisa merubah tulisannya pada rolling paper Jin Hyun.


“Hei, berikan padaku! Berikan!” seru So Yi.
“Kalau sudah ditulis nggak bisa diubah lagi,” kata Jin Hyun.
“Omong kosong. Kalau begitu akan kuberikan dua titik untukmu.”
“Sudah saja, ya.”
“Ah, cepat berikan padaku! Sudah apanya?”
“Sudahan saja.”
“Ah, aku tak mau lagi,” kata So Yi, ngambek.


Saat malam hari di rumah So Yi...
“Paman. Haruskah aku beli seragam?” tanya So Yi.
Paman yang sedang menggosok giginya langsung tersedak begitu mendengar pertanyaan So Yi. “Terserah saja,” kata Paman.
So Yi mengomentari tingkah pamannya yang mengosok gigi sembarangan, “Ih, jorok.”
Paman lalu mengalihkan pembicaraan, “Aku akan sibuk karena pelatihan. Mulai sekarang, kau yang siapkan sarapan anak-anakku, ya!”
“Terserah saja,” jawab So Yi.
“Apa ini? Apa kau cermin?" tanya paman. "Kau memang keponakanku. Selarut ini kau masih bisa makan?” ledek paman saat melihat So Yi makan ubi dengan lahapnya.


Pagi hari di sekolah...
Pak Guru menghukum semua siswa yang melanggar peraturan sekolah, termasuk siswa yang berpakaian tidak sesuai dengan aturan di sekolah. So Yi yang masih memakai seragam lama juga terkena omelan Pak Guru.
“Kau. Ya, kau. Kemarilah!” kata Pak Guru.
“Aku?” tanya So Yi.
“Ya. Kemarilah! Kau sudah sejak kapan pindah kesini? Kenapa masih pakai ini?”
“Ah, aku disini hanya sebentar. Aku sudah dapat izin wali kelas juga,” jawab So Yi.
“Tata tertib siswa itu tugasku. Kau tak ada uang untuk beli seragam?”

Jin Hyun yang melihat So Yi kena teguran Pak Guru langsung datang dan membela So Yi, “Pak, dia anak di kelasku... Situasinya agak...”
“Hei! Kalau kita membiarkan situasi semua orang, untuk apa ada tata tertib sekolah? Angkat tanganmu di sana!” perintah Pak Guru pada So Yi. So Yi hanya diam saja.
“Kau ngapain? Beraninya kau melotot pada gurumu? Ibumu Yeo Minsook, kan? Aku teman satu SMP-nya. Sejak awal dia berniat membuangmu kesini, lalu menikah di Amerika. Kalau kau sudah sebesar ini, harusnya kau rawat dirimu sendiri. Kenapa kau ingin mengikutinya ke Amerika?”
“Aku tak mau sekolah lagi!” kata So Yi.
“Apa?”
“Sekolah sampah seperti ini terlalu kotor buatku!” seru So Yi sambil berlalu pergi.


“Apa? Sa- sampah? Anak tak punya sopan santun itu! Kau mau kemana? Tak mau berhenti? Dia belajar dari siapa bisa tak sopan begitu?”
Jin Hyun segera mengejar So Yi. “Shin So Yi! So Yi!” panggil Jin Hyun sambil menahan tangan So Yi.


“Lepas! Jangan mengikutiku sebelum aku membunuhmu!”
“Ayo pergi. Kau tak bersalah, kenapa kau yang lari?”
“Jangan sok tahu!” kata So Yi.
“Shin So Yi!”
“Jangan sok tahu! Enyahlah kau! Kata-katanya benar. Ibuku membuangku ke sini. Aku selalu bilang akan ke Amerika dan  juga aku bilang tak mau sekolah lagi. Tapi itu semua bohong. Aku orang yang seperti itu.”
“Kau orang seperti apa memangnya? Jangan menghina dirimu sendiri! Dan juga, jangan kau benci ibumu!”
“Kau ingin bertingkah sok baik sampai akhir, ya?” tanya So Yi.
“So Yi!”
“Kalau ada seseorang yang tak kuinginkan untuk menghiburku... Itu kau, orangnya. Jadi jangan mengikutiku. Sebelum aku benar-benar membunuhmu,” kata So Yi.


Sepulang sekolah, So Yi mengurung dirinya sendiri di kamarnya. Paman terus membujuknya dan mengatakan kalau ia sudah membelikan sesuatu untuk So Yi.
“So Yi. Shin So Yi. Aku membelikan sesuatu untukmu. Ini. Ukurannya aku kira-kira,” kata paman. Paman lalu membuka pintu kamar So Yi untuk memberikan bingkisan untuknya. So Yi memeriksanya dan segera melemparnya setelah tahu isinya seragam sekolah.


“Kau bilang ke ibu kalau aku ingin tinggal disini?” tanya So Yi.
“Aku meneleponnya.”
“Lalu? Apa dia dia senang?”
Nenek datang dan mengatakan, “Bukan seperti itu. Itu juga akan menyakitkan sekali baginya.”
“Katakan padanya, jangan omong kosong! Dia membuangku karena aku menjadi penghalang hidupnya, kan?”
“Aku yang bilang... Akan merawatmu,” kata Paman.
“Apa? Kenapa? Memang kau siapa?” tanya So Yi, marah.
“Kaki ibumu... Pembuluh darah di betisnya pecah. Dia menyembunyikannya dan tetap bekerja selama satu dekade. Mana ada waktu untuk duduk bagi sales person mall, sepertinya? Aku... Hanya berharap ibumu menikmati hidupnya dengan nyaman,” kata Paman.
“Lalu aku? Bagaimana dengan hidupku?”


“Aku tahu, nak. Aku mengerti perasaanmu. Ibu mana yang tak mengerti anaknya? Tunggulah sebentar lagi. Semuanya akan baik-baik saja. Apa kau tahu betapa kasihannya ibumu?” kata Nenek.


“Baik... Anak lebih penting dari cucu, kan?” So Yi marah dan segera menutup pintu kamarnya. So Yi menangis sendirian di kamarnya. Di luar kamarnya nenek juga menangis, ia mencoba mengatakan pada So Yi kalau ibunya sangat menyayangi So Yi.
“Bukan begitu. Kau tak tahu betapa ibumu menyayangimu.”


Saat malam hari, So Yi diam-diam keluar dari kamarnya sambil membawa tasnya.


Nenek yang baru tahu So Yi kabur dari rumah saat hari sudah pagi segera memanggil pamannya. “Mincheol! Mincheol! Mincheol, bangunlah cepat! Mincheol! So Yi menghilang. So Yi tak ada!” teriak nenek, panik.
“Apa maksudnya itu?” tanya paman, setengah sadar.
Cepat-cepat! Lapor polisi! Cepat lapor!
“Ngapain lapor polisi?”
“Cepat! Cepat! So Yi menghilang!”


Paman lalu bangun dan keluar dari kamarnya. Ia melihat whitie tidak ada di kandangnya. Paman jadi panik karenanya.
“Ibu... Ibu... Ibu, polisi! Lapor polisi, cepat! Anakku menghilang!” kata Paman. Nenek memarahi paman yang lebih mengkhawatirkan kambingnya daripada So Yi.


Paman akhirnya berkeliling desa untuk mencari So Yi. Jin Hyun juga turut ikut mencari So Yi seorang diri.


So Yi berjalan sambil menuntun Whitie.
“Maafkan aku, Whitie... Aku sangat marah... Jadi kurasa aku harus ke Amerika. Kau juga terlahirlah kembali sebagai manusia. Eh, Jangan. Jangan terlahir kembali. Tak ada bagusnya juga,” kata So Yi.
Hujan tiba-tiba turun. So Yi lalu mengambil jas hujan di tasnya dan memakaikannya pada Whitie.


“Hei, Shin Soyi! Apa-apaan itu? Kau memakaikan dia yang seharusnya kau pakai? Ayo pulang dulu! Para orangtua khawatir,” kata Jin Hyun pada So Yi begitu ia berhasil menemukan So Yi.
“Kau saja yang pulang. Aku takkan pulang.”
“Lalu? Kau akan kabur dengan kondisi begini?” tanya Jin Hyun.
“Ya. Aku akan ke Amerika. Aku akan menanyainya. Aku akan membuat kekacauan. Aku takkan diam saja.”
“Lalu? Kau pikir hatimu akan tenang jika begitu? Kau seperti ini sekarang... Hanya akan memastikan kalau kau akan dibuang.”
“Jangan asal bicara! Kau tak tahu apa-apa.”
“Kau benar-benar berpikir aku sungguh tak tahu apa-apa?” tanya Jin Hyun lagi.
“Ya. Kau tak mengerti aku. Lalu kenapa kalau kedua orang tuamu bukan orangtua kandungmu? Memang kenapa kalau kau membakar ladang karena sedih mengenai hal itu? "Kau dan aku sama, jadi bukan hanya kau yang tak beruntung." Kau ingin mengatakannya, kan? Jangan bercanda. Hanya karena kau tak beruntung sedikit, jangan berpikir kau tahu rasa sakitku. Itu sombong, kau tahu?”
“Baiklah. Kau benar. Itu benar. Aku minta maaf. Kali pertama aku melihatmu, aku berpikir kalau kau sama denganku. Selama ini aku selalu berpikir aku orang paling tak beruntung di dunia. Aku selalu berusaha untuk menyembunyikannya. Sesuatu yang harusnya tak terlahir... Aku berpikir itu aku. Saat aku berumur 7 tahun, aku pernah mencari ibuku dengan hanya sebuah alamat. Pamanku memasukkanku ke kartu keluarganya. Ibuku telah memiliki keluarga baru. Waktu itu, ibuku mengatakan ini padaku.... "Anggap sajalah ibu sudah tak ada." Di dalam hatiku, aku telah membunuh ibuku, hari itu. Dan aku juga telah memutuskan... Untuk tidak menaruh hati pada siapapun. Cinta manusia pada manusia lain... Aku tak percaya hal itu. Karenanya... Aku memutuskan untuk jadi pendeta.”
So Yi menangis begitu mendengar cerita Jin Hyun, “Maafkan aku, Jin Hyun... Aku minta maaf.”


Jin Hyun lalu memeluk So Yi yang sedang menangis.
“Impianku saat aku kecil... Apa kau tahu?” tanya So Yi.
“Tidak.”
“Pelangi.”
“Pelangi... Cantik sekali,” komentar Jin Hyun.
“Saat itu... Aku pikir aku benar-benar bisa jadi pelangi.”
“Kau pasti bisa,” kata Jin Hyun
Tanpa mereka sadari Whitie berjalan sendiri dan berhasil kabur dari mereka.


So Yi akhirnya pulang kembali ke rumah. Neneknya menyambutnya dengan bahagia.
“Nak! Kau sudah kembali,” kata nenek.
“Hei, anak nakal! Kau dari mana saja baru kembali?” tanya paman.
“Whitie... Whitie...” Paman langsung panik saat tak melihat Whitie pulang bersama So Yi.


“Nenek... Maafkan aku... Aku salah,” kata So Yi, menyesal.
“Tidak apa-apa.. Tak apa. Yang penting kau selamat,” kata nenek.
“Dimana Whitie-ku? Mana Whitie? Apa kau menjualnya? Lalu apa kau memakannya?” tanya paman, marah.
“Bukan. Itu.. Dia kabur. Paman. Paman, aku minta maaf.”


“Hei! Bagaimana bisa kau pulang sendiri? Whitie! Kemana kau pergi? Whitie!!!” Paman langsung menangis sejadi-jadinya sambil berlari untuk mencari Whitie.


Malam harinya So Yi mendapat telepon dari Jin Hyun
“Hallo!”
“Ini aku...” kata Jin Hyun.
“Ya. Aku tahu. Kenapa menelepon?” tanya So Yi.
“Yah... hanya saja.”
“Aneh...”
“Apanya?” tanya Jin Hyun.
“Hanya saja... Aku senang.”
Mereka berdua diam-diam menahan senyumannya masing-masing. (ciee)
“Itu aneh sekali... Aku juga...” kata Jin Hyun.


Di luar kamar So Yi, paman akhirnya berhasil menemukan Whitie. “Ya ampun.. Tak apa Whitie... Kau tahu betapa khawatirnya ayahmu ini saat mengira kau hilang? Jangan khawatir lagi. Tidurlah yang nyenyak... Shin Soyi, anak nakal itu. Lihat saja setelah pelatihanku selesai. Akan kuhabisi, kau.”

So Yi tersenyum mendengar ocehan pamannya itu. Ia lalu bertanya pada Jin Hyun apa ia mendengar ocehan pamannya barusan.
“Ya. Terdengar seolah dia ada disampingmu,” jawab Jin Hyun.

Paman tiba-tiba berteriak dari luar pada So Yi, “Hei! Kau pikir aku tak tahu kalau kau mendengar semuanya dari dalam, kan? Anak itu sengaja.”
”Kalau begitu... Karena sudah larut... Selamat malam,” kata Jin Hyun.
“Kau juga.”


Esoknya So Yi masuk ke sekolah dengan memakai seragam baru. Teman-teman sekelasnya menyorakinya, “Wooo... Shin So Yi...”
“Diamlah...!!” kata So Yi.
“Sekarang, ternyata ada dua cewek gila di tanah Nonsan,” kata salah seorang temannya.
Sung Ji langsung menimpali, “Kau cari mati? Dia dan aku sangat berbeda. Bisa kaget Jin Hyun kalau dia melihat ini.”
“Ada apa ini? Jinhyun 'kan tak pernah bolos?” komentar salah satu teman Sung Ji saat menyadari Jin Hyun belum datang ke sekolah.
“Jangankan bolos... Telat saja dia tak pernah,” kata Sung Ji.
“Hei, apa kalian sudah dengar?” tanya seorang siswa yang baru saja datang ke kelas.
“Apa?”
“Keluarga Jinhyun kabur di tengah malam. Kudengar orang tuanya menerima banyak uang dari orang-orang untuk diinvestasikan. Mereka melarikan uangnya dan kabur.”
So Yi terkejut mendengarnya. 


Sepulang sekolah So Yi bergegas ke rumah Jin Hyun, namun ia tak menemukan Jin Hyun, yang ada hanya kerumunan orang-orang yang hendak menagih uang mereka ke rumah Jin Hyun. Ia melihat sepeda kesayangan Jin Hyun tergeletak begitu saja di halam rumah Jin Hyun. Orang-orang yang ada di depan rumah Jin Hyun terus menggerutu membicarakan keluarga Jin Hyun.
“Mereka benar-benar kabur?”
“Makanya itu... Sudah kubilang kita tak boleh percaya sembarang orang. Uangku hilang semua. Ya ampun...”


So Yi pulang ke rumahnya dan mendapati ibunya sudah ada di rumah.
“Aigoo, putriku sudah pulang! So Yi! Ini Ibu. Aku harus lihat wajah So Yi dari dekat. Lihat seragammu... Kau sudah benar-benar jadi gadis Nonsan. Lihat wajahmu. Pipimu sepertinya akan meledak! Masakan Nenek lebih enak dari masakan Ibu, ya?” tanya Ibunya.
So Yi hanya diam saja dan mulai menangis melihat ibunya ada di hadapannya sekarang.
“Ya ampun, anak ini. Kau bahkan tak menjawabku. Kau masih marah?”
So Yi akhirnya tak bisa menahan lagi tangisnya. Ia mulai menangis dengan keras.
“Astaga. So Yi... Ibu, dia anak siapa?” tanya Ibu pada Nenek, “astaga, aku malu.”
“Dia sama persis seperti dirimu 10 tahun lalu,” kata Nenek pada Ibu.


Ibu mencoba menenangkan So Yi yang sedang menangis dengan memeluknya, “So Yi, orang-orang desa bisa salah paham melihatmu menangis begini. Setelah melihat ibu, kau langsung menangis terduduk. So Yi, peluk ibu!"


Di malam hari, So Yi tidur di samping ibunya.
“Ibu...”
“Apa?”
“Apa ibu benar-benar berniat membuangku?” tanya So Yi.
“Ibu... Masih bisa hidup meski tanpa Kimchi... Tapi tidak jika tanpamu...”
“Kalau tak ada Kimchi, Ibu kan tak bisa makan.”
“Ibu minta maaf. Ibu salah.”
“Lupakan saja!”
“Haruskah aku memeluk anak kesayanganku?” tanya Ibu.


Esoknya So Yi bangun pagi-pagi sekali dan berlari menuju sekolah masih dengan menggunakan baju tidurnya untuk mencari brang-barang Jin Hyun yang tertinggal di sekolah, tapi ia tak menemukan apapun di sana, loker milik Jin Hyun bahkan sudah kosong.

So Yi dewasa bernarasi, “Saat itulah aku tahu. Anak itu telah menghilang dari duniaku selamanya... Dan aku tak bisa melihatnya lagi. Di hari itu... Aku pergi ke Amerika. Dan sekarang... Lembaran ke-17 umurku... Terbuka di depan mataku.”


So Yi dewasa sekarang sedang berada di bis sambil membuka kembali antologi yang pernah dibuatnya bersama Jin Hyun. So Yi membaca harapannya untuk Jin Hyun dalam rolling paper Jin Hyun, "Semoga impianmu tak terwujud..." So Yi kemudian membaca tulisan-tulisan dari teman-temannya dalam rolling paper untuknya.
Setelah kau datang, temperamen Sung Ji tak seburuk dulu. Kalian memang cewek gila kembar yang sesungguhnya.
Berbahagialah di Amerika...”
Kesamaan Shin So Yi dengan selebriti : Mereka cantik.”
Sung Ji juga menuliskan sesuatu untuk So Yi dalam rolling paper So Yi,Masa depan suram. Tidak... Masa depanmu cerah. Akan kurelakan anak suci itu kepadamu. Sampai bertemu lagi.”
So Yi berkata dalam hatinya, “Di dalam sini (antologi)... Terdapat sebuah hadiah luar biasa  yang tak pernah kubayangkan.”


So Yi kembali mengajar murid-murid lesnya yang masih tetap tak mengahargainya sebagai guru. Mereka masih tetap bersikap acuh tak acuh saat So Yi sedang mengajar. Kali ini So Yi mencoba menegur dengan lembut.


“Maafkan aku, anak-anak. Aku minta maaf pada kalian. Sejujurnya aku memandang rendah kalian. Seperti saat aku berkata bahwa Seojoon tidak pandai-pandai meski sudah serajin ini. Dan kubilang Seyoon selalu salah pengucapan 'kitchen' dan 'chicken'. Tapi setelah kupikir-pikir. Aku sangat bodoh dalam belajar. Youngwoon sangat menyakiti hatiku... Tapi ternyata sebenarnya aku dulu lebih parah darimu. Maafkan aku yang tak bisa berkaca diri. Aku lulusan universitas tak jelas di Amerika, jadi susah dapat kerja. Karena itu aku kembali ke Korea. Ini pekerjaanku untuk mendapat uang. Tapi meski begitu, aku juga ingin membantu kalian walau hanya sedikit. Karena itu, tolong... Tak apa-apa meski nilai kalian hanya naik 1 poin. Tolong perhatikanlah aku saat di kelas!” kata So Yi dengan tulus.


Murid yang sebelumnya selalu menerima telepon saat pembelajaran So Yi sedang berlangsung, kali ini mulai bersikap baik dengan menutup teleponnya setelah mendengar kata-kata So Yi. So Yi pun berterima kasih padanya. So Yi kembali melanjutkan kata-katanya, “Sejujurnya impianku adalah lulus dari Harvard.”
Murid-muridnya langsung menertawakannya, “Harvard katanya...”
So Yi masih melanjutkan kata-katanya, “Mimpiku bertemu pria seperti Brad Pitt dan tinggal di Beverly Hills. Tapi kenyataannya, aku hanya guru les akademi swasta di Mirim-dong, single, dan tinggal di apartemen sempit. Meski begitu, anak-anak... Bermimpilah. Apa butuh uang untuk punya impian? Ayo mulai pelajaran!”
“Itu menakutiku. Kenapa dia tiba-tiba begini?” komentar murid-muridnya.

So Yi bernarasi, “Hidup itu tak semudah yang kau pikirkan.  Itu berlubang, berliku dan penuh rintangan. Kalau diriku saat 17 tahun, melihat hidupku yang sekarang... Dia pasti akan sangat tenang. Dulunya, aku pernah menganggap hidupku saat 17 tahun adalah hidupku yang paling kelam. Tapi di musim semi itu... Anak itu menjadi pelangi hidupku. Kalau aku bisa memutar waktu, akan kukatakan pada diriku yang sekarang. Bahwa hidupku ini... Tidak terlalu buruk... Tidak buruk... Sama sekali.”

Flashback


Sebelum Jin Hyun dan keluarganya pergi meninggalkan Nonsan, Jin Hyun sempat menyimpan antologi ke perpustakaan sekolah. Saat itu, ia menulis pada rolling paper So Yi, “Kau... Pelangi dalam hidupku. Aku bukannya... Tak menyukaimu... Aku menyukaimu.”


So Yi dewasa kini sedang membaca tulisan Jin Hyun dalam rolling paper-nya di tepi danau sambil tersenyum dan menikmati keindahan senja.


~ End ~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW DRAMA KOREA BLACK: Tragedi Keserakahan Manusia

MENYUSUN MISTERI ALUR HITAM DRAMA KOREA BLACK

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 7 PART 1

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 10 PART 1

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 1 PART 1

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 5 PART 2

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 9 PART 1

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 6 PART 2