SINOPSIS ANTHOLOGY Part 2
Sebelumnya
Sinopsis Anthology Part 1
Nenek sangat
mengkhawatirkan So Yi saat melihat So Yi pulang dengan pakaian seragam yang
berlumpur. Paman malah mengolok So Yi, “Wah, apa kau habis latihan militer? Kau
benar-benar seperti pengemis.”
“Paman, apa di
sini selalu begini?” tanya So Yi.
“Hei, meskipun
mereka luarnya begitu, tapi hati mereka lembut,” kata Paman.
“Apa kau bercanda?
Mereka jahatnya bukan main.”
“Astaga, apa yang
kau bicarakan? Satu ikan Seoul telah mengotori lautan Nonsan. Anak-anak itu pasti
terkejut sekali.”
So Yi merasa kesal
dengan ucapan pamannya, hingga So Yi melemparkan sesuatu pada pamannya. Nenek
mencoba menenangkan So Yi untuk tak perlu melawan pamannya itu. Nenek lalu
menyiramkan air ke arah Paman.
“Ibu, kenapa Ibu terus
menyiramku?” protes paman.
Nenek mengomel
pada paman, “Kau mirip siapa sampai bisa begitu? Kau pasti mirip ayahnya.”
Esok harinya di
sekolah saat jam istirahat, So Yi membuka bekal makan siangnya yang dibuat
nenek. So Yi menutup kembali bekalnya, karena ia tidak suka dengan makanan yang
dibuat nenek. Jin Hyun tiba-tiba menghampiri So Yi dan membahas soal antologi.
“Isi antologi bisa
berupa gambar atau tulisan anak-anak lain atau juga bisa foto mereka...” kata
Jin Hyun.
“Kau mau apa?”
tanya So Yi, sinis.
Jin Hyun tak
lantas menyerah untuk terus menjelaskan soal antologi pada So Yi, “Dan ada yang
harus kau terima dari mereka, “mimpiku” dan rolling
paper. Dan kurasa bahan tulisannya juga kurang...”
Sung Ji tiba-tiba
datang menghampiri mereka dan menyerahkan kotak makan siangnya pada Jin Hyun.
“Jin Hyun,
makanlah!” kata Sung Ji. Sung Ji lalu berteriak pada teman-temannya yang lain.
“Hei, keluargaku mengadakan perayaan kemarin lho.”
Teman-teman Sung
Ji langsung bersorak dan mendatangi Sung Ji di meja So Yi.
So Yi merasa terganggu
dengan kerubunan teman-temannya di mejanya. Karena tak tahan lagi, So Yi lalu membentak
mereka, “Hei! Pergilah ke tempat kalian sendiri! Dan juga apa kalian kerasukan
setan kelaparan?”
So Yi lalu berkata
pada Jin Hyun sambil pergi meninggalkan kelas, “Hei, dengar baik-baik! Aku tak
akan mengerjakan antologinya.”
Jin Hyun langsung mengejar So Yi. Sementara Sung Ji jadi bete melihatnya. Imbasnya ia jadi
melarang teman-temannya memakan makanan miliknya. (Haha)
Saat pelajaran olahraga dimulai, Pak Guru menyuruh anak-anak
untuk berkumpul. Pak Guru rupanya sedang tidak enak badan, karena terlalu
banyak minum, sehingga Pak Guru tidak bisa mengajar saat itu.
“Aku akan istirahat dulu, kalian mainlah dodgeball berpasangan saja!”
kata Pak Guru.
“Pak, itu permainan seperti
apa?” tanya salah seorang siswa.
“Ah, kalian tak pernah memainkannya, kan?”
Pak Guru lalu menyuruh Jin Hyun dan So Yi untuk maju. Pak Guru
memilih So Yi, karena So Yi terlihat mencolok dengan pakaian olahraganya yang
berbeda dari yang lain. Pak Guru pun sempat memarahi So Yi karena tak
kunjung berganti pakaian olahraga dengan pakaian olahraga seragam di sekolah
barunya, padahal So Yi sudah lama pindah sekolah.
Pak Guru
kemudian menjelaskan soal peraturan dalam permainan dodgeball, “Perhatikan! Siswa laki-laki dan siswa perempuan akan
menjadi satu tim dan bermain dodgeball.
Yang terpenting dalam permainan ini, kalau siswa laki-laki terkena bola itu tidak
apa-apa. Tapi, kalau siswa perempuan yang kena, mereka kalah. Jadi, kalau siswa
laki-laki berdiri di depan, siswa perempuan di belakangnya itu akan
menguntungkan. Mengerti?”
“Ya,”
jawab semua siswa serempak.
“Kalau
begitu, bentuklah tim kalian!” perintah Pak Guru.
Peluit pun
ditiup tanda permainan dimulai. “1, 2, 3 Semangat!”
So Yi dan
Jin Hyun manjadi satu tim. Pada awalnya, So Yi terlihat tak suka satu tim
dengan Jin Hyun, namun selanjutnya So Yi lah yang paling bersemangat dalam
permainan itu. Ia bahkan bertindak sebagai pelindungnya Jin Hyun dari pukulan
bola dengan berdiri di depan Jin Hyun. Berbeda dari tim lainnya di mana
lelakilah yang melindungi perempuan, So Yi justru yang berdiri di depan
melindungi Jin Hyun.
Siswa
laki-laki yang berpasangan dengan Sung Ji mencoba untuk memukulkan bola ke arah
So Yi, namun Jin Hyun langsung menghalau bola itu, sehingga bolanya mengenai
punggung Jin Hyun. Sung Ji melihatnya dan langsung memarahi pasangannya itu, “Apa
yang kau lakukan? Begitu saja tak becus. Hei, kalau kau tak bisa mengenai cewek
itu, awas kau!” Sung Ji lalu menyuruh pasangannya itu untuk memukulkan bola
pada So Yi lagi.
Sekarang
So Yi dan Jin Hyun dijadikan sasaran utama oleh tim lainnya agar segera out dari permainan. Sebuah bola hampir
mengenai So Yi, namun Jin Hyun segera menarik So Yi, hingga mereka berdua jatuh
bersama. Sung Ji langsung menggunakan kesempatan itu untuk menyuruh pasangannya
memukulkan bola pada So Yi. Jin Hyun yang tahu
ada bola mengarah pada So Yi segera melindungi So Yi dengan memeluknya.
So Yi
sedang tiduran di dipan yang ada di halaman rumahnya. So Yi masih memikirkan
kejadian tadi siang saat Jin Hyun menyelamatkannya dari pukulan bola. So Yi
yang tak terima dengan kejadian itu langsung memarah-marahi tangannya sendiri
dan berteriak tak karuan juga mendesah beberapa kali sambil menggerak-gerakkan
tangan dan kakinya.
Paman
langsung mengomentari tingkah aneh So Yi, “Anak ini. Apa kau sedang berenang
malam? Ah.. Itu bukan helaan napas biasa. Itu napas yang keluar saat seseorang
merasakan hembusan angin tertentu di hatinya.”
“Angin?”
tanya So Yi yang lalu bangun dari tidurnya.
“Ya. Angin
itu terasa menyejukkan tapi menggelitik. Rasanya seperti menggetarkanmu. Wah,
aku ingin tahu siapa yang menghembuskannya padamu.”
“Kau
bilang apa sih?”
Handphone paman tiba-tiba berbunyi
dan paman membukanya sambil menghela nafas.
“Lalu apa
itu? Arti dibalik helaan napasmu itu?” tanya So Yi.
“Kau tak
perlu tahu,” jawab Paman.
“Ibu beli
selimut baru?” tanya Paman pada Nenek.
“Tentu. Untuk
anak ini,” jawab Nenek.
“Nenek,
kenapa sampai beli selimut segala?” tanya So Yi.
“Aku
takut kau kedinginan.”
So Yi
jadi terharu mendengarnya dan memuji neneknya adalah yang terbaik.
Saat So
Yi sudah ditinggal oleh nenek dan pamannya, So Yi mencoba tiduran kembali di
dipan dan kembali memikirkan Jin Hyun. (ciee)
Esoknya
di sekolah, Jin Hyun membagikan “dream paper”
pada teman-teman sekelasnya.
“Ini akan
dimasukkan ke dalam antologi, jadi masing-masing harus menulis minimal 10 baris.
Kalau begitu, pikirkan dan tulislah baik-baik hari ini, kumpulkan besok ke Shin
So Yi!” kata Jin Hyun.
“Hei,
kita sudah umur berapa disuruh menulis cita-cita. Ini menggelikan,” keluh
teman-temannya.
“Aku
harus tulis apa? Presiden?” tanya salah seorang temannya.
“Tulis
saja hal pertama yang kau pikirkan sebelum tidur! Kalau ada hal pertama yang
muncul, pasti itulah yang sejujurnya,” kata Jin Hyun.
Saat itu,
Bu Guru masuk ke kelas. Anak-anak lalu berteriak tak suka.
“Ah,
rapor,” keluh anak-anak.
“Ya ampun,
kalian peka sekali. Hasil nilai seluruh sekolah sudah keluar. Bulan depan ada
pertemuan wali murid. Jadi, jangan mimpi untuk memalsukan nilai. Lagi-lagi
peringkat satu dari seluruh sekolah ada dikelas kita. Selamat, Song Jinhyun,”
kata Bu Guru.
Semua siswa pun bertepuk tangan untuk Jin Hyun. So
Yi menoleh pada Jin Hyun, ia tak menduga ternyata Jin Hyun adalah anak yang
pintar.
Malam
harinya, saat ayah Jin Hyun pulang, Jin Hyun ingin melaporkan soal rapornya.
Ayahnya langsung menyelanya seolah tak peduli, “Peringkat satu lagi? Aku sudah
bilang, kan? Jangan belajar! Kalau berlebihan kau bisa serakah. Kau bahkan tak
punya tujuan.”
Jin Hyun kecewa
mendengarnya. Ia pun melepaskan kekecewaannya dengan bersepeda malam.
So Yi
sedang menunggu telepon dari Jin Hyun, tapi Jin Hyun tak kunjung meneleponnya.
So Yi merasa kecewa. Ia lalu bergegas untuk tidur dan memikirkan kembali
kata-kata Jin Hyun soal cita-cita, “Tulis
saja hal yang pertama kali terpikir sebelum kau tidur, malam ini. Kalau ada
yang pertama kali muncul, pasti itulah yang sesungguhnya.”
So Yi mencoba
memikirkan sebuah cita-cita, tapi ia malah memikirkan hal lain. So Yi bergumam
sendiri, “Bagaimana bisa kutulis itu sebagai impian?”
Esoknya
saat pelajaran praktek IPA, So Yi dan Jin Hyun satu kelompok.
“Sudah
kalian teteskan pereaksi ke kaca objek?” tanya Bu Guru.
“Ya.”
“Karena
ini percobaan tim, satu orang saja yang diambil darahnya,” kata Bu Guru.
So Yi
memutuskan kalau ia yang akan diambil darahnya dan menyuruh Jin Hyun menulis
laporannya saja. So Yi terlihat ketakutan saat melakukan pengambilan darah sendiri.
Jin Hyun pun menawarkan diri untuk membantu So Yi mengambil darahnya.
“Tusuklah
sekali saja!” perintah So Yi sambil memejamkan mata.
“Sudah,”
kata Jin Hyun.
“Ini ternyata
bukan apa-apa.” So Yi lalu melihat tangannya dan ternyata tangannya baik-baik
saja. Ia melihat tangan Jin Hyun lah yang telah diambil darahnya.
Kyugsoo
tiba-tiba datang ke meja Jin Hyun dan So Yi, ia mulai membual, “Aku mendengar
dari Kang Hyunwoo anak kelas 1-2. Katanya di laboratorium ada hantu. Barangnya
tertinggal disini, jadi dia kesini tengah malam. Lalu ia mendengar suara kotak
musik, “ding ding.” Lalu dia melihat semacam goblin terbang. Bahkan terdengar
suara tangisan hantu perawan.”
Bu Guru
menegur Kyungsoo yang terus mengobrol di meja orang lain, “Kyungsoo. Kenapa
mengobrol? Kau tidak mengerjakan percobaan? Apa kau sudah selesai?”
Kyungsoo
pun patuh pada perintah Bu Guru dan kembali ke mejanya.
So Yi berkomentar, “Di
sekolah mana saja selalu ada omongan tak jelas. Di sekolahku yang di Seoul, katanya
tiap tengah malam patung Raja Agung Sejong membacakan Manuskrip Hunmin Jeongeum.”
“Ey, itu
nggak masuk akal,” kata Jin Hyun.
“Hei, ini
menarik. Masukkan ke dalam antologi,” saran So Yi.
Saat
malam tiba, So Yi dan Jin Hyun mendatangi ruang laboratorium sekolah. Mereka
bersembunyi di dalam lemari di laboratorium untuk menanti kedatangan hantu seperti
yang diceritakan Kyungsoo.
“Apa kita
harus melakukan sebegininya? Apa yang kita lakukan selarut ini?” tanya So Yi
pada Jin Hyun.
“Meski
begitu, terima kasih karena mau menemaniku,” kata Jin Hyun.
“Hei,
mana ada yang namanya hantu? Kau tunggu 100 tahun pun tak akan muncul.”
“Hei,
jangan berisik! Kalau ditunggu nanti juga datang.”
So Yi
tiba-tiba bertanya soal pembakaran yang dilakukan Jin Hyun sebelumnya, “Hei. Waktu
itu, kenapa kau melakukannya? Apa pemilik ladang yang kau bakar itu musuh orang
tuamu atau semacamnya? Kenapa kau melakukan hal semacam itu? Kau sudah
benar-benar menipu anak-anak lain, tahu. Bagaimana bisa seseorang begitu
berbeda luar dan dalamnya? Dan juga, kenapa kau pintar sekali? Kau pasti
senang. Kau bisa masuk universitas manapun yang kau mau.”
“Kalau kau
‘kan pasti kuliah di Amerika,” kata Jin Hyun.
“Belum
pasti, juga. Tapi, Kau juga belum menulisnya kan? Kalau kau sih, memang aslinya
pintar, kau bisa jadi apapun. Dokter? Jaksa? Hakim? Sudahlah. Aku bahkan tak
tau impianku, untuk apa tahu impianmu.”
“Sebelum
tidur...”
“Sudah
kucoba. Tapi... Aku hanya terpikir satu hal. Aku berharap tidur seperti ini
saja, dan tidak bangun lagi keesokan harinya. Tapi aku tidak bisa menulisnya
begitu, kan? Kau benar. Aku menyedihkan,” curhat So Yi.
“Kau... Memang
waktu kecil impianmu apa?” tanya Jin Hyun.
“Aku tak
mau bilang.”
“Kau tahu
kalau kau mudah ditebak,” kata Jin Hyun.
“Apa?”
“Saat aku
melihatmu.... Kurasa aku tahu apa yang kau rasakan.”
“Jangan
bercanda.”
“Beneran,
kok. Karena itu aku jadi jujur. Di depanmu saja.”
“Kau
jenius,” puji So Yi.
“Apa?”
“Golongan
darahmu kan AB.”
“Memang
golongan darahmu apa?” tanya Jin Hyun.
“Aku
golongan AO. Ibuku A, ayahku O.”
“Orangtuaku...
Dua-duanya golongan O,” kata Jin Hyun
“Oh.. Begitu.”
So Yi lalu terdiam sejenak dan menyadari kalau itu artinya orang tua Jin Hyun sekarang
bukan orang tua kandungnya Jin Hyun. Jin Hyun langsung mengalihkan pembicaraan.
“Ada
cahaya,” kata Jin Hyun.
“Apa itu
goblin-nya?” tanya So Yi.
“Suara
kakinya juga terdengar dekat.”
“Memang
hantu punya kaki?” tanya So Yi lagi.
“Kalaupun
punya, bukankah akan melayang di udara?” tanya Jin Hyun balik.
Suara
tawa wanita yang mengerikan dan juga suara alunan kotak musik tiba-tiba terdengar. So Yi mengintip dari balik
celah-celah lemari. Pintu lemari tempat mereka bersembunyi, tiba-tiba terbuka.
“Kalian...”
“Bu
Guru,” kata Jin Hyun.
“Paman!”
kata So Yi.
“Apa kau
sudah makan?” tanya paman pada So Yi dengan canggung.
Paman
akhirnya, membuatkan ubi bakar untuk So Yi di rumah mereka.
“Goblin
apa yang pakai senter?” tanya So Yi, mengejek.
“Kami
masuk diam-diam mumpung sedang bertugas. Jadi kami mematikan lampu-lampu
sedikit,” kata Paman.
“Tapi,
apa Bu Guru selalu tertawa seperti hantu begitu?” tanya So Yi.
“Hei,
hantu? Hantu mana yang suaranya secantik itu? Sunhwa bilang, aku lebih lucu
dari Yoo Jaesuk. Meski aku hanya bernapas, dia akan tertawa lepas.”
“Lalu... Suara
kotak musik itu apa sebenarnya?” tanya So Yi.
“Hadiah
200 hari pacaran,” jawab Paman.
“Kau akan
menikah? Dengan si kuno itu?”
“Hei,
apa-apaan kau menyebut gurumu si kuno? Aku hanya lulusan perguruan tinggi
pinggiran. Pekerjaanku, yah paling begini-begini saja. Dengan kondisi seperti
ini, bagaimana aku bisa berguna bagi Sunhwa?”
“Ya ampun.
Bagaimana kau akan membela negara ini dengan mental selemah itu? Masa depan
pertahanan negara ini sungguh cerah sekali,” ejek So Yi.
“Ya ampun
anak ini. Kemampuan berbahasamu memang luar biasa. Kalau dalam hal ini,
bukannya kau mirip aku? Kudengar dari Sunhwa, kau sudah mulai bisa beradaptasi
di sini. Ini semua... Apa karena cowok itu?” tanya paman.
“Kau
ngomong apa?”
Jin Hyun pulang
ke rumahnya saat Ayah dan Ibu tirinya sedang bertengkar. Jin Hyun menguping
pembicaraan mereka di halaman rumahnya.
“Kenapa
juga kau keras kepala sekali? Membuat orang-orang berinvestasi pada hal yang
tak jelas? Buat apa? Uang sebanyak itu, bagaimana kau akan membayar kembali mereka semua?” omel Ibu Tiri
Jin Hyun pada Ayah Jin Hyun.
“Tidak
bisakah kau diam?!” tegur ayah Jin Hyun.
“Aku
tidak bisa merawat Jinhyun lagi. Mau dihentikan bagaimanapun juga, dia pasti
akan tetap ingin kuliah. Cepat kembalikan saja dia ke ibunya!” kata Ibu Tiri
Jin Hyun.
Jin Hyun jadi
sedih mendengarnya. Ia lalu pergi meninggalkan rumahnya untuk bersepeda sambil
melepaskan kesedihannya.
So Yi
bertanya pada Pamannya seperti apa orang tuanya Jin Hyun itu. Paman menjelaskan
kalau orang tua Jin Hyun baru menikah beberapa tahun yang lalu. Meski Paman tak
tahu pasti, di mata orang-orang sekitar, orang tua Jin Hyun sangat baik.
“Baguslah
kalau begitu,” kata So Yi.
“Kau... Merasakan
cinta pertamamu, ya?” selidik Paman.
“Tidak,”
jawab So Yi.
“Ah,
begitu ya?”
“Tapi,
yang namanya cinta pertama itu juga lucu. Itu benar-benar permainan kata-kata,”
kata So Yi.
“Apa
maksudmu?” tanya Paman.
“Maksudku,
apa persisnya cinta pertama itu? Apa itu cinta yang paling pertama dirasakan? Atau
cinta yang paling kuat kau rasakan? Kalau bukan itu juga, apa itu cinta yang
paling berkesan? Jadi maksudku, apa definisi yang tepat dari cinta pertama?”
tanya So Yi.
“Ya apa lagi?
Cinta pertama. Yang pertama kali,” jawab Paman.
So Yi
mendesah mendengar jawaban pamannya.
“Paman.
Apa laki-laki itu tipe orang yang tak bisa melupakan cinta pertamanya?” tanya
So Yi.
“Entahlah.
Kalau begitu, apakah perempuan itu tipe orang yang bisa meyakini cinta
pertamanya?” tanya Paman balik.
“Bagaimana
aku tahu itu? Ini pertama kalinya buatku juga,” jawab So Yi.
Bersambung ke Sinopsis Anthology Part 3
Komentar