SINOPSIS ANTHOLOGY Part 1


"Anthology" Story by Shin Ha Eun

Semua Gambar dan Konten dalam Sinopsis Anthology Bersumber dari tvN



Shin So Yi adalah seorang guru les Bahasa Inggris di Akademi Swasta Mirim-dong yang tak pernah dihormati oleh murid-murid lesnya. Bahkan saat ia sedang mengajarpun, tak ada satu pun muridnya yang memperhatikan pembelajarannya. 

Seorang muridnya bahkan dengan cueknya menelepon saat pembelajaran sedang berlangsung. So Yi mencoba menegur muridnya itu untuk bersikap sopan di dalam kelasnya. Ia pun merebut handphone milik muridnya itu. Muridnya menjadi kesal pada So Yi dan memintanya untuk mengembalikan handphone-nya.

“Cobalah untuk jaga sopan santunmu! Di sini bukan hanya ada kamu, ada teman-temanmu yang ingin belajar. Akan kukembalikan ini setelah pelajaran selesai,” kata So Yi.


Muridnya menjadi tambah kesal setelah mendengar ucapan So Yi. Ia bahkan berani balik menggertak So Yi, “Kembalikan sekarang! Kau pikir kau itu sesuatu karena kau dipanggil “Guru”, bahkan tak ada seorangpun yang mendengarkanmu.”

Muridnya itu langsung merebut handphone-nya dari tangan So Yi dan keluar dari dalam kelas. So Yi tak bisa berkata-kata lagi melihat perilaku tak sopan dari muridnya itu. Sementara itu, murid-muridnya yang lain malah menyoraki ulah murid So Yi yang berani menentang So Yi itu.


So Yi menghadap pimpinan Akademi Swasta Mirim-dong dan menceritakan apa yang terjadi padanya di dalam kelas tadi. Pimpinan tempat lesnya itu memberikan nasehat pada So Yi, kalau guru les itu berbeda dengan guru sekolah. Yang terpenting, bukan hanya soal mengajar, tapi So Yi juga perlu sedikit bercanda dengan murid-muridnya dan membuat mereka merasa nyaman. Pimpinan tempat les itu lalu memarahi So Yi, karena So Yi bahkan tak tahu soal itu.

Pimpinan So Yi masih terus menceramahinya habis-habisan, “Apa kau tidak pernah melihat laman pencari kerja? Ada banyak orang yang mengantre untuk mendapatkan pekerjaan ini. Bagi lulusan universitas tak ternama di Amerika yang tak bisa mendapatkan pekerjaan, bukankah hanya ini yang bisa kau lakukan? Hah? Sejujurnya juga, kalau kau lulusan Harvard, akankah kau bekerja di sini sekarang?” So Yi hanya  terdiam mendengarkan ceramah dari pimpinannya.


So Yi pulang ke rumahnya dengan lesu. Ia mendapati paket dari bibinya di desa ada di depan pintu rumahnya. So Yi menelepon bibinya dan mengatakan untuk tak perlu repot-repot lagi mengirim paket makanan ke rumahnya.

“Itu tidak banyak. Makanlah! Nanti juga akan cepat habis. Simpanlah kentang dan ubinya di tempat teduh! Makanlah kastanye-nya saat kau bosan,” kata bibinya di telepon.
So Yi protes, “Orang kuno macam apa yang makan di rumah?”


Bibi menasehati So Yi untuk tak lupa makan di rumah, meskipun tak sempat. So Yi terus protes dengan makanan yang dikirim bibinya itu. Ia menyuruhnya untuk berhenti mengirimnya lagi, ia akan membelinya sendiri kalau ia membutuhkannya.


Saat itu suami bibi, paman kandungnya So Yi baru pulang kerja dan bertanya pada bibi, apa yang ditelepon itu adalah So Yi. Paman berkomentar bahkan sekarang ia sudah lupa dengan wajah So Yi saking sudah lama mereka tak bertemu. Paman menyuruh So Yi untuk cepat berkunjung ke desa. So Yi beralasan ia juga ingin, tapi jadwal mengajarnya sangat full. So Yi bahkan membual kalau dirinya sangat populer di kalangan murid-muridnya. Mendaftar di kelasnya, bahkan lebih sulit daripada mendapatkan tiket konser idol.

Bibi tak mengerti  dengan apa yang dibicarakan So Yi dan bertanya, “"Ti"...  apa? Ah, aku bahkan kini tak mengerti omonganmu.”
“Ah, bagaimana bibi bisa berubah begini?”


So Yi lalu membuka isi paket lainnya di dalam dus paketnya. Ia menemukan sebuah buku di dalam dus itu. Bibi berkata ia menemukan buku itu saat membersihkan perpustakaan sekolah.

“Itu yang pernah kau buat dulu, kan? Di situ bahkan ada namamu juga,” kata Bibi.
So Yi lalu membuka buku itu. Di halaman pertama buku itu tertulis, “Antologi”. Ingatan So Yi seakan kembali mengembara ke masa-masa indah saat ia membuat buku antologi itu, kala ia masih remaja.


Flashback, 16 tahun lalu di Nonsan ...



So Yi baru datang ke Nonsan dengan dijemput pamannya. Baru saja So Yi menginjakkan kakinya di Nonsan, ia sudah mengeluh kalau di sana udaranya bau kotoran.

“Hei, kau tak tahu betapa berharganya bau ini? Itu bagus untuk tubuhmu, hiruplah sebanyak-banyaknya! Apa kau tau bagaimana fertilizer (pupuk) dibuat?” omel Pamannya.
So Yi hanya diam saja mendengar omelan pamannya.
“Ah, benar. Waktu kau ke sini saat kau masih lima tahun, kau hampir terjatuh ke lubang kotoran, kan?” tanya Paman.
So Yi kesal, “Kenapa kau membicarakan soal itu? Karena itu, pedesaan itu bagusnya untuk liburan saja. Sebenarnya siapa, kapan, di mana, bagaimana, dan kenapa manusia hidup di sini?”
“Lalu apa aku ini hantu?” tanya paman.
So Yi mendesah, “Ah, ini menyebalkan.”

Saat itu, kaki So Yi tak sengaja menginjak kotoran. So Yi mengeluh, “Apa-apaan ini?” Paman malah mengambil kotoran itu dan mendekatkannya pada So Yi, “Ini bukan kotoran,” kata Paman. So Yi menyuruh pamannya menjauhkan kotoran itu darinya. So Yi makin kesal dan tak suka berada di pedesaan.


So Yi akhirnya sampai di rumah neneknya. Nenek menunjukkan kamar pada So Yi untuk ia tinggali. So Yi berkomentar pada nenek saat ia melihat meja belajar di kamar itu, kenapa nenek menyiapkannya meja belajar segala, toh ia hanya sebentar tinggal di sana. Nenek malah mengalihkan pembicaraan dengan mengomentari udara kamar So Yi yang sepertinya masih terasa dingin. Udara di desa memang akan terasa lebih dingin dibandingkan di Seoul. Nenek lalu berteriak pada paman untuk menyalakan api agar udara tidak terasa dingin lagi.

“Oh ya, Nak! Kau belum sarapan, kan?” tanya nenek tiba-tiba. “Aku membuatkanmu makanan, tapi lupa. Nak, kau mau kurebuskan jagung dulu?” tanya nenek kemudian.
“Ah, nenek itu tidak perlu!” kata So Yi.

Nenek merasa tidak enak, ia harusnya segera menyiapkan makanan untuk So Yi, tapi ia terlalu bahagia menanti kedatangan So Yi sampai lupa menyiapkan makanan untuk So Yi. Nenek meminta So Yi untuk menunggu sebentar, nenek akan menyiapkan makanan untuknya.

Nenek ke luar kamar So Yi dan meminta paman yang sedang asyik mengurus kambing kesayangannya untuk segera menyalakan api. Paman tak terlalu mempedulikan perintah dari nenek. So Yi lalu datang menghampiri pamannya.


“Apa yang sedang kau lakukan? Sampai masuk ke sana (kandang kambing) segala? Kau bisnis sampingan? Usaha bahan pangan sehat, begitu?” tanya So Yi pada pamannya.
Paman tak terima dengan ucapan So Yi, “Apa? Bahan makanan?” Paman lalu menyuruh kambing peliharaannya yang ia panggil “anak” itu untuk tutup telinga mendengar ucapan So Yi.
“Kambing hitam dan kambing putih itu akan lumayan jika dijual,” kata So Yi.
“Hei, nama anak-anakku itu Whitie dan Blackie, tahu? Apa kau tahu julukan Yeo Min Chul ini di sini? Harimau Nonsan. Prajurit bahkan tak mampu menatapku,” kata Paman. 


So Yi hanya geleng-geleng kepala saja mendengarnya. Ia lalu pergi untuk duduk di dipan halaman rumah dekat kandang kambing.
“Ah, begitu? Aigoo,” kata So Yi.
“Dia mirip siapa sampai omongannya bisa begitu?” keluh paman.
“Tentunya tidak mirip paman, aku kan mirip nenek.”
“Aih, anak ini. Bagaimanapun kau akan masuk sekolah mulai senin besok. Karena sekolahnya dekat, kau pergi dengan jalan kaki saja,” kata paman.
So Yi mengeluh, ”Apa aku harus masuk sekolah?”
“Berisik! Kau akan pergi dengan paman besok. Kau perlu beli seragam baru.”
“Aku tidak perlu. Aku di sini hanya sebentar, itu buang-buang uang saja.”
“Hei! kalau kau pindah sekolah, kau harus pakai seragam baru.”
“Itu tidak perlu!” bentak So Yi.

“Sudahlah, dia bilang tidak mau,” bela nenek yang tiba-tiba ada di sana untuk mengambil bahan makanan di sana. Nenek lalu menawarkan pada So Yi untuk merebuskan kentang.
“Pakai gula yang banyak, ya!” kata So Yi pada nenek.
“Tentu. Kentang kan enaknya kalau dimakan bersama gula. Kau tahu caranya makan, kau mirip denganku,” kata nenek.
“Kalian memang mirip,” komentar paman kesal.


Saat malam hari, So Yi sibuk mencari sinyal di luar rumah neneknya untuk menelepon ibunya. So Yi akhirnya bisa menemukan sinyal dan berhasil menelepon ibunya.

“Ibu? Ibu, aku sekarang di rumah nenek.”
“Oh, So Yi. Kenapa kau belum tidur jam segini?” tanya ibunya.
“Di sini bahkan belum jam 10, tahu? Ibu, bolehkah aku tidak usah sekolah? lagipula aku di sini hanya sebentar. Aku akan berlibur saja selagi menunggumu datang.”
Ibu langsung melarang So Yi untuk tidak bicara omong kosong seperti itu. Ia menyuruh So Yi menunggu sebentar saja.
“Ah, tempat ini sangat menyebalkan. Di kamar mandi tidak ada shower, handuknya bau, dan airnya pun keruh,” keluh So Yi.

Suara laki-laki tiba-tiba terdengar di telepon dan bertanya pada ibu So Yi siapa yang menelepon di tengah malam begini. Ibu So Yi menjawab ini bukan siapa-siapa dan menyuruh laki-laki itu tidur kembali. So Yi ternyata tak merasa terganggu dengan kehadiran laki-laki di samping ibunya itu (mungkin ayah tirinya). So Yi menyuruh ibunya untuk cepat menjemputnya. Ibu tidak menjawabnya. Ibu malah berkata ia tidak bisa bicara lama-lama di telepon. Ibu menasehati So Yi untuk tinggal di rumah neneknya dengan baik. Jangan merepotkan neneknya. Makan teratur dan jangan sampai sakit selama di sana. Ibu langsung menutup teleponnya.

So Yi kesal, “Jika aku baik-baik saja di sini, kau akan berpikir aku tidak apa-apa. Lalu kau tidak akan datang. Pikirnya aku akan menurut? Lihat saja! Aku tidak akan beradaptasi. Aku akan buat kekacauan.”


So Yi lalu menendang tanah tempatnya berpijak saking kesalnya pada ibunya. Tapi kemudian, dia malah mengeluh kedinginan. Saat itu, So Yi tiba-tiba melihat dari kejauhan seorang pemuda tengah membakar ladang kosong. So Yi memperhatikan orang itu dengan seksama. So Yi mendesah, “Hah... setelah sekian banyak hal, di sini bahkan ada pembakar.”


Esok paginya, So Yi mulai masuk ke sekolah barunya. So Yi masuk ke dalam kelas bersama Bu Guru. Seorang siswa tiba-tiba berdiri hendak memimpin mengucapkan salam pada Bu Guru, tapi Bu Guru melarangnya, kali ini itu tidak perlu, karena ada sesuatu yang lebih penting daripada mengucapkan salam. Bu Guru lalu memperkenalkan So Yi pada murid-muridnya di kelas. 

Bu Guru menyuruh murid-muridnya untuk membantu So Yi agar bisa beradaptasi. Bu Guru mempersilahkan So Yi untuk memperkenalkan diri secara langsung pada teman-teman barunya. So Yi hanya diam saja, karena terlalu asyik mendengarkan musik menggunakan headset-nya. Bu Guru menyentuh So Yi dan menyuruhnya melepaskan headset-nya.

So Yi akhirnya melepaskan headset-nya dan berkata dengan angkuh kalau ia tidak berniat untuk beradaptasi di sekolah itu, karena ia akan pindah ke Amerika sebentar lagi, jadi ia meminta teman-temannya jangan mempedulikannya. Bu Guru mencoba mencairkan suasana kelas yang tiba-tiba kaku setelah So Yi berkata angkuh seperti itu dengan menyuruh So Yi duduk di bangku belakang yang kosong.


Seorang siswa yang tadi berdiri hendak memimpin ucapan salam terus memperhatikan So Yi saat So Yi akan duduk. Bu Guru saat itu menginformasikan bahwa jam pelajaran kelima nanti akan diganti dari matematika ke bahasa.

Selama pembelajaran bahasa berlangsung, So Yi sama sekali tak memperhatikan gurunya mengajar di depan kelas. Ia hanya diam di bangkunya sambil mendengarkan musik di headset-nya. Bel istirahat lalu berbunyi, Bu Guru Pelajaran Bahasa menginformasikan kalau setelah istirahat akan ada ujian. Anak-anak langsung mengeluh tidak suka. Mereka kemudian berhamburan keluar kelas begitu Bu Guru meninggalkan kelas. Hanya sebagian anak-anak saja yang masih tetap bertahan di kelas untuk menyiapkan ujian.

Dua orang siswi menghampiri So Yi di bangkunya. Mereka memuji seragam So Yi yang terlihat bagus. Mereka bertanya apakah So Yi benar-benar akan pergi ke Amerika.

“Tapi apa yang kau dengarkan?” tanya salah satu dari mereka saat melihat So Yi sedang memakai headset.


“Dia akan pergi ke Amerika, pasti saja itu lagu barat,” jawab salah seorang temannya lagi.
“Lagu barat? Berarti kau jago Bahasa Inggris? Di sini Jin Hyun yang paling jago Bahasa Inggris,” kata temannya yang sebelumnya bertanya pada So Yi tentang apa yang sedang didengarkannya sambil menunjuk ke arah Jin Hyun. 

Jin Hyun ini adalah siswa yang sebelumnya sempat memperhatikan So Yi saat So Yi akan duduk tadi. So Yi melirik sebentar ke arah Jin Hyun. Dua orang teman-temannya terus kepo soal ini dan itu pada So Yi, hingga membuat So Yi kesal dengan ke-kepoan mereka.

So Yi melepas headset-nya dan menegur mereka, “Hei! Aku minta tolong! Bisakah kalian bicara tidak memakai dialek? Ini mengingatkanku kalau aku sedang berada di pinggiran. Jadi aku cukup terganggu.”


Ucapan So Yi terdengar oleh Sung Ji, salah satu siswi berpengaruh di sekolah itu. Ucapan So Yi membuat Sung Ji marah saat mendengarnya. Sung Ji mendekati So Yi dan langsung memarahinya, “Hei! Memangnya di sini siapa yang tidak bisa pergi ke Amerika? Dan juga Seoul? Dari Seoul ke sini cuma butuh waktu dua jam, tahu?”

“Benarkah? Tapi, kenapa trend di sini tertinggal setengah tahun dari Seoul? Ikat rambutmu itu, sama persis dengan yang sudah kubuang musim semi lalu,” kata So Yi.


Sung Ji semakin kesal mendengar ucapan So Yi. Ia bahkan sampai hendak memukul So Yi. Tapi, So Yi langsung mendorong mejanya ke arah Sung Ji.

“Jangan menghalangi sinar matahari, minggir!” kata So Yi.
“Kau sungguh ingin dipukul, ya?” tanya Sung Ji emosi.

“Kurasa, jam istirahat sudah selesai. Duduklah!” kata Jin Hyun tiba-tiba.
Bel masuk pun berbunyi. Anak-anak kembali ke tempat duduknya masing-masing. So Yi memandang ke arah Jin Hyun dengan tatapan penasaran. Sung Ji menyadari So Yi sedang memandangi Jin Hyun.

“Saat ini, apa yang sedang kau lihat? Kucongkel juga matamu, ya!” ancam Sung Ji.


Pa Guru tiba-tiba masuk ke kelas dan menegur Sung Ji, karena ia masih berdiri padahal bel masuk sudah berbunyi. Sementara itu, So Yi masih memandangi Jin Hyun. Begitupun dengan Jin Hyun yang juga memandang ke arah So Yi. Tatapan So Yi berubah jadi sinis setelah ia menyadari kalau Jin Hyun adalah orang yang semalam ia lihat sedang membakar ladang kosong.

“Benar, itu kau, kan?” tanya So Yi pada Jin Hyun dengan sinis. Jin Hyun hanya diam saja dan langsung mengalihkan pandangannya. Ia lalu segera bersiap untuk mengikuti pelajaran.


Saat jam pelajaran terakhir, Bu Guru yang tadi pagi memperkenalkan So Yi pada teman sekelasnya memberitahu mereka untuk memilih siswa yang bertugas mengerjakan antologi.

“Kalian mungkin berpikir untuk apa membuat antologi semacam itu? Tapi selama hidup, yang tersisa bagi kalian hanyalah kenangan,” kata Bu Guru. 

Bu Guru lalu memilih Jin Hyun yang akan mengerjakan antologi itu. Ia meminta pada murid-muridnya yang lain, siapa yang bersedia membantu Jin Hyun mengerjakan antologi itu. Sung Ji langsung mengangkat tangannya.

Bu Guru berkomentar, ”Sung Ji, aku cukup mengerti dengan perasaanmu, tapi kelinci-kelinci di peternakanmu sepertinya semakin kurus. Kau merawatnya dengan baik, kan?”
Sung Ji berubah jadi kecewa saat menyadari hal itu, ia berjanji ia akan fokus mengurus kelincinya dengan baik.

“Baiklah. Selain Sung Ji, tidak adakah yang mau membantu Jin Hyun?” tanya Bu Guru.

Anak-anak hanya diam saja. Jin Hyun langsung mengangkat tangan dan mengusulkan bagaimana kalau So Yi sebagai anak baru yang membantunya. So Yi terkejut begitu mendengarnya. Begitupun dengan Sung Ji yang cemburu jika Jin Hyun melakukannya bersama So Yi.

“Baiklah, baguslah kalau So Yi yang mengerjakannya. So Yi yang akan membantu,” kata Bu Guru. 

Jin Hyun tersenyum ke arah So Yi, sementara So Yi membalasnya dengan tatapan tidak suka.


Sepulang sekolah, So Yi menegur Jin Hyun yang sedang berjalan bersama dengan dua temannya.
“Hei, kau! Hei, Berhenti! Berhenti!” teriak So Yi dari arah belakang Jin Hyun, “kubilang berhenti!”



Akhirnya Jin Hyun dan dua orang temannya pun menoleh.
“Kau bicara dengan siapa? Aku? Dia? Atau Dia?” tanya salah seorang teman Jin Hyun sambil menunjuk ia, temannya, dan Jin Hyun.
“Kalian berdua jangan ikut campur!” kata So Yi kesal. Ia menyuruh dua orang teman Jin Hyun itu untuk pergi.



“Kau mengenalku?” tanya So Yi pada Jin Hyun begitu kedua teman Jin Hyun pergi meninggalkan mereka berdua.
“Yah. Tidak juga. Tapi, aku juga tidak bisa bilang aku tak mengenalmu,” jawab Jin Hyun.
“Kau bicara apa?”
Double negatif sama saja dengan positif.”

So Yi mengejek ucapan Jin Hyun yang terasa lucu baginya, ia lalu berkata, “Hei, pembakar! Itu kau, kan? Tindakanmu itu termasuk kriminal, tahu?”
Jin Hyun hanya tersenyum mendengarnya sambil berkata, “Aku sama sekali tidak mengerti dengan ucapanmu.”
“Ah, aku tahu. Untuk melakukan hal seperti itu, tentu saja diperlukan muka setebal ini. Sudahlah! Soal antologi atau apapun itu, lakukan saja dengan gadis yang tadi! Lagipula aku akan pergi ke Amerika.”
“Baiklah, kalau begitu sebelum kau pergi, kau bisa untuk melakukannya.”
“Aku sudah bilang aku tidak mau. Kau tidak mengerti Bahasa Korea?”
Jin Hyun malah mengabaikan So Yi dan bilang dengan sikap cool-nya, “Sampai jumpa besok!”  
So Yi kesal, “Apa kau psikopat? Atau sosiopat, semacam itu?”
“Mari kita bekerja sama untuk tugas antologi,” kata Jin Hyun sambil pergi meninggalkan So Yi.



“Hei! Aku tak mau! Aku tak akan melakukannya!” teriak So Yi. Jin Hyun malah mengabaikan teriakan So Yi dan kembali berjalan bersama dua orang temannya yang tadi diusir oleh So Yi. So Yi mendesah kesal.


So Yi pulang ke rumah dengan muka masam. Sementara itu, nenek menyambut kepulangan So Yi dengan wajah bahagia.
“Astaga, bayiku sudah pulang sekolah. Teman-temanmu memuji kau cantik, begitu kan?”
“Cantik apanya? Gedung sekolahnya sudah tua, mejanya pun sudah jelek. Anak-anaknya... jangan dibicarakan lagi pokoknya!” keluh So Yi.
Paman menimpali, “Hei, bukan kau kan, yang mengganggu anak-anak polos seperti mereka?”
“Polos?” tanya So Yi.



“Mereka itu anak baik. Jangan sombong, hanya karena kau datang dari Seoul. Juga, jangan ungkit-ungkit tentang Amerika.”

So Yi kesal dengan ocehan pamannya, ia lalu mengejek soal pamannya yang menganggap dirinya sebagai harimau Nonsan, padahal tidak ada apa-apanya, di nonsan cuma ada sawah (non) dan gunung (san) saja.

“Dan juga, paman, kau tak tahu anak-anak itu lebih parah. Kau memang buruk dalam menilai orang, makanya sampai sekarang kau belum menikah juga. Ibuku saja sudah dua kali.”
“Apa anak ini mengoleskan racun ke lidahnya? Wah, meski keluarga kita pandai bicara, kau tak ada tandingannya,” sindir paman.



Nenek rupanya tidak suka mendengar cucunya dikata-katai seperti itu oleh paman. Ia lalu menyiramkan segayung air ke arah paman.
“Ibu, kenapa kau menyiramku?” protes paman.
“Hei, cepat beri dia makan! Dan letakan itu (menunjuk selimut yang sedang dijemur) di kamarnya! Cepat!” perintah nenek pada paman.


Esok harinya di sekolah, anak-anak lelaki sedang bermain basket di lapangan sekolah. Jin Hyun juga ikut bermain dalam permainan basket itu. Sementara itu, Sung Ji dan teman-temanya sedang asyik menonton permainan basket itu. Tiba-tiba Sung Ji melihat So Yi berjalan di pinggir lapangan. Sung Ji pun langsung menegur So Yi saat itu juga. Sung Ji menegur So Yi ternyata bukan untuk menyapanya, tapi untuk megejeknya.

“Hei! Kudengar ibumu bercerai. Kudengar dia membuangmu dan menikah lagi di Amerika. Akankah kau jadi ke Amerika? Orang yang akan ibumu nikahi, kudengar orang ras hitam.”



So Yi tak terima dengan ucapan Sung Ji. Ia langsung menarik rompi seragam Sung Ji. “Jaga mulutmu!” kata So Yi.
Sung Ji kemudian mendorong So Yi, “Kaulah yang harus jaga sikapmu!”
“Kenapa kau bersikap begini padaku?” tanya So Yi.
“Jangan lakukan! Antologinya,” kata Sung Ji.
“Apa?”
“Coba lakukan saja! Akan kucincang kau!” ancam Sung Ji.
“Jadi kau menggangguku hanya karena masalah itu?”       
“Kalau kau tetap melakukannya, aku pasti akan memeras air matamu, mengerti?”


So Yi mendesah, ia lalu berjalan menuju lapangan basket dan memanggil Jin Hyun yang sedang bermain basket.
“Hei, kau tak dengar!” seru So Yi pada Jin Hyun.
Jin Hyun Menoleh ke arah So Yi. Teman-teman Jin Hyun berkomentar kenapa lagi dengan sikap So Yi yang tiba-tiba memanggil Jin Hyun.

So Yi melihat ke arah Sung Ji berdiri sambil berkata pada Jin Hyun, “Akan kulakukan antologinya.”
“Apa?” Sung Ji terkejut mendengarnya.
“Aku akan melakukannya denganmu,” kata So Yi pada Jin Hyun.


Sung Ji langsung mencak-mencak begitu mendengarnya. Kedua teman Sung Ji berusaha menenangkan Sung Ji. Sung Ji terus memaki-maki So Yi. “Hei, kau gila! Apa kau sudah gila? Hei! Kau tidak dengar perkataanku tadi?” teriak Sung Ji.

So Yi tak terlalu mempedulikan makian Sung Ji. Ia lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sementara itu, Jin Hyun tersenyum senang karena So Yi mau mengerjakan antologi itu dengannya.


Saat pulang sekolah, Sung Ji yang masih dendam pada So Yi menendang kaki So Yi hingga So Yi hampir terjatuh.
“Aku sudah bilang kau akan kucincang, kan?”
“Apa pergi ke atap sekolah sudah cukup?” tanya So Yi. (maksudnya ngajak berkelahi)
“Pergilah!”


So Yi dan Sung Ji ternyata tidak jadi pergi ke atap sekolah, tapi malah pergi ke sebuah ladang yang luas. So Yi dan Sung Ji berdiri saling berhadapan.

“Wah, pemandangannya sangat bagus! Seperti film koboi,” kata So Yi.

Sung Ji tak terlalu menanggapi basa-basi dari So Yi. Ia menawarkan So Yi untuk menghisap rokok terlebih dahulu sebelum mulai pertarungan. (JANGAN DITIRU, YA!)

So Yi menolaknya, “Untuk apa? Kalau aku ke Amerika aku akan dengan mudah menemukan ganja atau ekstasi. Kau saja puaskan sendiri!” kata So Yi. (JANGAN DITIRU, YA!)
“Jangan sok hebat kau!” bentak Sung Ji sambil membuang rokoknya dan langsung menyerang So Yi.


Perkelahian So Yi dan Sung Ji pun tak dapat terhindarkan lagi. Mereka saling jambak-jambakkan dan bahkan sampai berguling-guling di tanah hingga tak mempedulikan lagi wujud mereka yang sudah dipenuhi lumpur.

”Hei! Awas ya, kalau kau coba-coba membicarakan ibuku lagi!” ancam So Yi sambil terus memegangi Sung Ji. 
Sung Ji tak mau kalah, ia balas mengancam So Yi, “Hei! Cobalah kalau kau mau mendekati Jin Hyun-ku lagi, aku tak akan diam!”
“Aku tak tertarik padanya! Aku paling benci jika wanita melakukan hal begini,” kata So Yi sambil melepaskan Sung Ji dari pegangannya.



“Kau pikir kau saja yang tidak suka? Aku juga tidak suka. Tapi, Jin Hyun itu berbeda.”
“Hei, kurasa itu karena standar di sini sangat rendah. Cobalah pergi ke Seoul, tampang seperti dia, akan mudah kau temukan di mana-mana!”
“Ini bukan soal tampangnya saja. Meskipun di Seoul banyak yang tampan. Dia berbeda. Dia... dia itu suci.”


So Yi tak percaya mendengarnya, “Cowok gila itu! Kau sudah benar-benar dibutakannya. Hei! kau sepertinya tak tahu aslinya dia.”
Sung Ji marah dan kembali menyerang So Yi. “Kau boleh menjelek-jelekkanku, tapi jangan menjelekkan  Jin Hyun.”
So Yi mendorong balik Sung Ji yang sedang mencengkeram kerah bajunya, “Kau mau mulai lagi?” tanya So Yi.
“Lap saja darahmu!” kata Sung Ji yang tiba-tiba jadi perhatian.

So Yi kesal, ia lalu meninggalkan Sung Ji.
“Apa kau mau kabur?” tanya Sung Ji.
“Kau yang harus lap darahmu!” kata So Yi sambil melemparkan tisu yang ia ambil dari dalam tasnya pada Sung Ji.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW DRAMA KOREA BLACK: Tragedi Keserakahan Manusia

MENYUSUN MISTERI ALUR HITAM DRAMA KOREA BLACK

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 7 PART 1

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 10 PART 1

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 1 PART 1

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 5 PART 2

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 9 PART 1

SINOPSIS HWAYUGI EPISODE 6 PART 2